assaLamu'aLaikum....
Kali ini aku post salah satu cerpenQ...
silakan dibaca yak...!
And I'll wait your comment 4 me...
see ya!!
Melati yang Layu
“Ma, emangnya nggak ada keputusan lain apa?”
“Nggak bisa sayang. Ini udah keputusan papamu.”
“Tapi Ma…”
“Udah sayang, patuhi aja. Ini juga demi kebaikan kamu kok.”
Gadis itu menitikkan air mata. Ia tak bisa membayangkan berpisah dengan sahabat sejatinya. Sahabat yang menemaninya sejak kecil. Mamanya mengelus pundaknya pelan. “Jangan menangis sayang…”
@ @ @
“Lika!! Ayo berangkat!” teriak suara seorang gadis dari luar.
Sementara itu seorang gadis dengan rambut tergerai tampak mengeluarkan sepedanya dari dalam garasi rumahnya. “Bentar ya!” sahutnya kemudian.
“Hari ini PRnya cuma bahasa inggris kan?” tanya gadis dengan rambut dikuncir menyerupai ekor kuda yang tadi memanggilnya.
Gadis yang satunya mengangguk. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.
Sesampainya di sekolah dua gadis itu langsung meletakkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda yang luasnya tidak seberapa. Sebagian besar siswa di SMA itu mengendarai motor ke sekolah. Namun karena rumah kedua gadis itu jaraknya tidak begitu jauh mereka hanya menggunakan sepeda.
Lalu keduanya berjalan beriringan menuju kelas mereka. XI IPA 4.
“Tau nggak Lik, tadi waktu di jalan mau rumahmu aku ketemu Dimas lho! Aku kaget banget, habis nggak biasanya kan dia lewat di jalan itu. Sayangnya kamu nggak ada, coba tadi kamu ada pasti kamu langsung nervous banget!” cerita gadis yang rambutnya dikuncir.
“Oh..” sahut gadis yang dipanggil Lika.
“Kok kamu cuma bilang oh sih? Nggak biasanya deh!”
“Ah, nggak. Perasaan kamu aja kali!”
“Jangan pura-pura deh! Kamu tuh kenapa sih?”
Lika menaikkan kedua sudut bibirnya. “Risty, aku nggak kenapa-napa kok.”
“Ya udah!” sahut gadis yang dipanggil Risty sambil mengangkat kedua bahunya.
Sesampainya di kelas mereka segera meletakkan tas. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Pelajaran segera dimulai.
@ @ @
“Seharian ini kamu agak beda Lik,” kata Risty saat mereka sedang memasukkan buku dan alat-alat tulis ke dalam tas. Bersiap-siap pulang.
“Emang iya ya?”
“Tuh kan? Dari tadi bilangnya gitu mulu. Aku ajak cerita, nggak nyahut,” jelas Risty. “Cuma bilang iya, enggak terus. Diajak jajan di kantin, males,” katanya lagi.
Lika tersenyum tipis. “Ya maaf. Tapi, aku nggak kenapa-napa kok.”
“Terserah lah!” sahut Risty kesal.
Tak lama kemudian mereka keluar dari kelas, lalu mengambil sepeda di tempat parkir seperti biasanya.
Sesampainya di rumah Lika mereka berpisah.
“Bye Lika!” kata Risty.
“Bye!” balas Lika.
Lika masuk ke rumahnya. Tiba-tiba mamanya muncul.
“Lika, udah pulang nak? Oh iya, papa baru aja nelpon, katanya dipercepat tiga hari Lik!”
“Apa? Dipercepat? Berarti lima hari lagi dong Ma! Ah, papa kenapa nggak mikirin Lika sih Ma? Lika nggak suka sikap papa yang maksa-maksa gitu!”
“Udah deh sayang. Yang penting sekarang kamu nurut aja yang dibilang papa. Mulai siapin barang-barang kamu lho ya! Biar besok kita nggak keburu-buru. Soal sekolah besok mama urus.”
Lika menggerutu. “Huh, papa jahat!”
@ @ @
Siang yang panas. Matahari seakan marah dengan penduduk bumi. Memberikan sinarnya dengan garang. Kedua gadis itu rasa-rasanya ingin cepat sampai rumah.
“Huh panas banget ya Lik!” keluh Risty.
“Iya nih!” ujar Lika mendukung.
Akhirnya sampai juga di depan rumah Lika.
“Aku duluan ya Lik, pengen cepet-cepet minum es! Bye!” kata Risty sambil mengayuh sepedanya lebih cepat.
“Stop! Stop! Jangan pulang dulu!”
Risty yang mendengar ucapan Lika spontan langsung berhenti mengayuh.
“Ada apa?”
“Aku baru inget, aku mau ngasih kamu sesuatu!” ujarnya.
“Hah? Apaan?” tanya Risty penasaran.
Lika tak menjawab. Ia kemudian mengambil sebuah tas kresek hitam dari kebun depan rumahnya.
“Ini pohon melati,” ujarnya.
Risty hanya diam penuh tanda tanya. Namun, akhirnya ia membuka mulut juga.
“Buat apaan sih?”
“Mm… buat kamu rawat. Aku sebenarnya juga tahu kalau kamu nggak suka melati. Tapi kan, itu bunga kesukaan aku. Jadi, aku nggak ada maksud lain ngasih kamu bunga itu selain sebagai tanda persahabatan. Boleh kan? Lagian kamu kan cuma perlu merawatnya aja,” jelas Lika panjang lebar. “Aku bawain deh, kalau kamu nggak bisa. Mau ya?” katanya lagi. Ia kemudian memasukkan tas kresek hitam ke dalam keranjang sepedanya
“Terserah deh! Buruan nih, aku udah keringetan.”
“Iya iya,” sahut Lika mulai menaiki sepedanya.
“Sebenernya ngapain sih kamu ngasih aku kayak gituan?”
Lika hanya tersenyum. “Mm... apa ya? Ntar kamu juga tahu kok.”
“Yee, bikin penasaran aja.”
Lika tersenyum lagi. “Pokoknya cuma satu yang aku minta, kamu ngerawat bunga yang aku kasih. Pohonnya disiramin terus. Biar nggak layu.”
@ @ @
Paginya, seperti biasa Risty dan Lika berangkat bersama.
“Ris, bunganya kemarin gimana? Udah kamu siramin kan?”
“Udah kok, udah aku tanem di kebun belakang. Sesuai dengan perintah. Merawatnya!”
“Oke-oke. Mm…pokoknya jangan sampai kamu biarin bunganya layu. Oh iya, pulang sekolah nanti kamu mampir ke rumahku dulu ya! Aku mau ngasih kamu sesuatu lagi nih!”
“Jangan bilang bunga melati lagi!”
“Liat aja nanti!” sahut Lika asal.
@ @ @
Ternyata…
“Kamu tunggu di sini dulu aku mau ngambil sesuatu buat kamu,” ujar Lika sesampainya mereka di rumahnya.
“Apaan lagi sih?” tanya Risty penasaran.
Beberapa saat kemudian Lika muncul dengan kedua tangan disembunyikan di balik punggung. Lalu…
“Nih!” katanya sambil menunjukkan sebuah rangakaian bunga.
“Wow! Mawar! Nah, kalo gini aku suka!”
“Iya dong, kan aku tahu kamu suka banget bunga mawar. Makanya daripada kamu cemberut waktu aku kasih melati. Kamu aku kasih mawar aja.”
Risty tersenyum senang. “Aku kan nggak ulang tahun hari ini. Memangnya ada apa sih?”
“Mm… yang penting bunganya kamu rawat aja.”
“Tuh kan? Dari kemaren kamu cuma minta aku ngerawat bunga mulu!”
“Ya udah, kamu mau nggak? Kalo nggak mau aku ambil lagi nih mawarnya.”
“Eit, enak aja. Udah dikasih mau diambil lagi. Tenang aja, aku rawat kok!”
“Ya udah, nih diminum dulu sirupnya.”
Tak lama kemudian…
“Mm… Ris, aku bilang sesuatu sama kamu. Jangan marah ya!”
“Apaan?”
“Tiga hari lagi aku mau pindah ke Kalimantan.”
“Ha?! Apa? Pindah ke Kalimantan? Yang bener aja!”
Lika mengangguk pelan. “Maafin aku…” katanya lirih. Ia menunduk. Tak berani menatap wajah Risty. Air matanya menetes.
Risty masih shock. Ia tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba saja ia menyambar tasnya dan berlari keluar.
“Risty!” teriak Lika. “Maafin aku…”. Air matanya makin deras. Ia tak kuasa lagi menahannya. “Maafin aku…”
Sementara itu Risty mengayuh sepedanya secepat mungkin. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Ia sendiri bingung, kenapa semuanya terjadi begitu saja. Lika akan pergi meninggalkannya.
Bayang-bayang itu muncul lagi. Kenangan saat-saat mereka bersama. Tertawa. Menangis bersama. Janji setia takkan saling meninggalkan. Janji untuk selalu bersama.
“Lika pembohoo…ng!!” teriaknya kencang.
@ @ @
Angin sepoi menghembus dedaunan di taman. Risty duduk di salah satu bangku di bawah pohon asam yang sudah sangat tua. Pohon yang selalu menemani masa kecil mereka.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang gadis dengan rambut tergerai berjalan ke arahnya. Risty merasa sesuatu yang tak enak menyergap dirinya. Ia beranjak. Namun, gadis yang baru saja datang itu segera berlari dan mencengkeram lengan Risty. Erat.
“Lepaskan Lik,” kata Risty lirih.
“Nggak sebelum kita ngomong baik-baik.”
“Nggak ada yang perlu diomongin, kamu pembohong!” Risty tak membalikkan tubuhnya.
“Aku tahu, aku ini emang pembohong. Aku salah. Aku tahu, aku nggak bisa jaga janji kita. Dan kamu nggak akan mungkin bisa nerima ini. Tapi, please, ngertiin keadaan aku!”
Risty terdiam.
“Silakan aja salahin aku. Aku ini emang salah. Aku bukan sahabat terbaik kamu. Kamu nggak pantas punya sahabat kayak aku!” kata Lika lagi.
“Aku nggak nyalahin kamu. Aku cuma nyalahin diriku sendiri, yang tak pernah bisa kehilangan kamu.”
Lika melepas genggaman tangannya. Ia tertunduk. Menangis. Sementara itu Risty pergi.
@ @ @
Pagi ini Risty tak berangkat bersama Lika seperti biasanya. Saat melewati rumah Lika ia sama sekali tak menoleh. Lika yang saat itu melihat sahabatnya melintas begitu saja di depan rumahnya tertegun sejenak. Lalu mendesah pelan.
“Ma, Lika berangkat dulu ya!”
“Risty nggak dateng ya?” kata suara di dalam.
“Nggak tuh! Udah ya Ma! Lika berangkat!”
Lika mulai mengayuh sepedanya. Ia masih merasakan sesuatu yang tak enak pada dirinya. Sesuatu yang berbeda.
@ @ @
“Ris, kamu masih marah ma aku ya?” tanya Lika.
Risty hanya diam.
“Mm… gimana bunga melatinya? Kamu siram kan?”
Risty masih membungkan mulutnya.
“Oh iya, kita kan punya handphone, kita masih bisa saling telepon kan?”
Risty tak menyahut.
“Risty, kamu masih sahabat aku kan?”
Kali ini Risty membuka mulutnya. “Dulu.”
Perkataan Risty membuat Lika kaget. Ia tak menyangka Risty mengucapkannya.
“Ris, maafin aku ya! Aku juga sebenarnya nggak pernah mau pindah. Tapi keadaan yang memaksa aku.”
“Cukup! Jangan ngomong lagi.”
Lika membungkan mulutnya. Ia sudah mencoba sabar atas sikap Risty terhadapnya. Namun sepertinya kesabarannya itu ada ujungnya. Ia sedikit emosi pada Risty.
“Ya udah! Aku nggak akan ngomong lagi!”
@ @ @
Sejak saat itu, Risty dan Lika tak pernah berkomunikasi lagi. Mereka hanya diam saja saat teman-teman mereka bertanya mengapa sikap mereka akhir-akhir ini berbeda.
“Kalian marahan ya?”
“Saling ngambek ya?
Dan banyak pertanyaan lain yang hanya mereka jawab dengan bungkam. Sampai akhirnya hari perpisahan mereka datang.
Kali ini Lika memberanikan diri bicara pada Risty.
“Lik, hari ini aku akan pergi. Maafin aku ya!”
Risty hanya diam. Namun sebenarnya hatinya sakit. Sangat sakit. Hatinya menangis. Namun ia tak pernah menunjukkannya. Tak ada seorang pun yang tahu.
“Ris, kali ini aku mohon. Maafin aku..” Lika menggenggam erat tangan Risty. Tak ada pemberontakan darinya.
Tiba-tiba setetes air jatuh ke tangan Lika. Hati Risty memberontak. Ia ingin mengatakan pada dunia bahwa ia sakit. Bahwa ia takut kehilangan sahabat terbaiknya.
“Risty…”
Semakin kencang. Tangis Risty semakin kencang.
“Maafin aku Lik…” Ia mendekap erat tubuh Lika. Dan tiba-tiba ia melepaskannya begitu saja. Ia berlari sekencang ia bisa. Tak berani menatap kepergian sahabatnya.
@ @ @
Kini Risty duduk sendirian. Bangku di sampingnya kosong. Yang tersisa hanyalah bayang-bayang semu Lika.
Dan Risty pun berubah. Ia kini lebih banyak diam. Tak seperti sebelumnya. Ceria sepanjang hari.
Pohon melati pemberian Lika tak pernah digubrisnya lagi semenjak Lika berkata bahwa ia akan pergi ke Kalimantan. Menengok pun tidak. Ia biarkan layu begitu saja. Sebenarnya tak sedikit yang memperingatkannya untuk merawat bunga itu. Namun, ia tak pernah mengindahkannya. Melihat pohon melati itu seperti melihat Lika, pikirnya.
Alih-alih pohon melati, rangkaian bunga pemberian Lika telah ia buang sepulangnya dari rumah Lika dulu. Sebelumnya ia injak-injak dulu. Lalu ia lemparkan begitu saja di tempat sampah. Memandang rangkaian bunga itu bagaikan memandang Lika, pikirnya.
Ia mencoba membuang kenangan bersama Lika. Walaupun sebenarnya tak mustahil bila ia menelepon Lika. Namun, baginya hal itu akan membuatnya semakin merasakan rindu yang amat sangat terhadap Lika. Dan itulah pilihan Risty. Yang justru malah membuatnya tersiksa.
@ @ @
“Ris, lihat berita di TV deh! Cepetan!” perintah kak Vitri, kakak Risty satu-satunya.
Risty yang mendengarnya buru-buru berlari menuju ruang keluarga. “Ada apaan sih?”
“Itu bukannya nama papa dan mamanya Lika! Liat deh di daftar korbannya!”
“Iya Kak,” jawab Risty yakin.
“Tapi kok nama Lika nggak ada ya? Tunggu bentar, sebagian korban belum teridentifikasi karena kondisinya sangat parah. Hangus terbakar! Dan lagi, sama sekali nggak ditemukan korban yang masih hidup. Jangan-jangan…”
Risty merasa jantungnya berdegup kencang. Sangat kencang. Keringat dingin muncul dari pori-pori kulitnya. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Lika.
“Nggak mungkin!” teriaknya kencang. “Lika nggak mungkin mati!!” Kali ini lebih kencang. Air matanya benar-benar mengalir deras.
“Udah Ris! Jangan nangis. Mungkin ini udah takdir Tuhan.”
“Nggak mungkin!!” teriaknya lagi.
Risty benar-benar tak menyangka akan seperti ini. Ia sangat menyesal tak berpisah dengan baik-baik dengan Lika. Ia menyesal telah membuang rangkaian bunga dari Lika. Ia juga menyesal karena telah membiarkan melatinya layu dan mati. Seperti jiwa Lika yang telah layu untuk selama-lamanya.
@ @ @
0 comments:
Post a Comment
nice person = nice comment