Alhamdulillaah...

Alhamdulillah, kuucapkan syukur, karena aku bisa mempunyai teman seperti mereka,
sahabat yg bener2 sayangg, kita berjuang bareng2, di SKI!!!
Senenggg banget rasanya...
Karena D pula, aku tau hidup nggak mungkin semudah n selancar yg aku bayangin selama ini.
Bahwa hidup itu perjuangannn!!!
Hh...hh....
Jangan pernah nyerah untuk sebuah kbaikannn!!!
BERJUANG! SEMANGAT! ALLOHU AKBARR!!

Mirip Avril

“Tunggu bentar, wajah kamu kayak Avril deh!” seru Dila mengagetkanku.
“Ah, masak sih! Avril Lavigne, penyanyi luar itu kan?”
Dila mengangguk. “Coba aja kamu tanyain ke temen-temen!” usulnya.
“Cit, emang tampangku kayak Avril ya?” tanyaku pada Cita.
“Mm.. kalau dilihat dengan seksama, emang mirip, sih!”
“Tuh kan?” kata Dila.
“Tapi, kok kamu baru bilang sekarang?” kataku tidak yakin.
“Nggak tahu kenapa aku tiba-tiba bilang gitu. Waktu aku lagi ngobrol langsung ma kamu tadi, aku ngerasa gitu. Tapi sayang, rambut kamu pendek, dan lagi keriting!” 
“Iya, gimana kalau direbonding?!” tiba-tiba Vina menyahut.
“Ah, masa bodo sama Avril. Lagian duit darimana, orang bayar kos aja masih nyicil,”
“Ye, nabung atuh!” 
“Tau deh!” 
Semenjak teman-teman bilang aku mirip dengan Avril, tiap hari aku jadi kepikiran terus. Di kamar kos, aku jadi sering becermin, mencoba meluruskan rambut dengan sisir. Sulit, rambutku kan memang udah keriting dari sononya. Keturunan sih! Aku mulai memandangi celengan ayamku yang mulai berdebu, saking jarangnya kuisi. Tiga bulan ini aku lagi bokek, tahun ajaran baru membuatku ngirit bin hemat. SMAku tak pernah berhenti menyuruh murid-muridnya membayar, dari buku, SPP yang katanya dinaikin, sampai tetek bengek lainnya. Itulah resikonya sekolah di kota. Mahal.
“Putri, gimana keputusan kamu? Udah bulat?” tanya mbak Rika.
“Aku nggak tau Mbak! Tadi pagi temen-temenku malah bilang aku mirip Avril. Dan kayaknya aku juga belum terlalu siap memakai jilbab kayak Mbak!” jawabku lesu. 
Mbak Rika, dia adalah anak kuliahan yang satu kos denganku. Aku akrab sekali dengannya. Setiap ada masalah aku selalu curhat padanya. Dan dia berusaha memberi solusi padaku. Aku merasa nyaman bersahabat dengannya. 
Suatu hari mbak Rika mencoba mengajakku berjilbab layaknya seorang muslimah, akupun mulai memikirkannya. Aku berjanji pada diri sendiri untuk menggunakan uang di celenganku itu untuk membeli baju lengan panjang dan beberapa jilbab, walaupun akhir-akhir ini aku tak pernah mengisinya, sehingga aku sedikit melupakan niatku itu. Tapi entah kenapa perkataan teman-teman tadi semakin mengendorkan niatku.
“Put, gimana? Kamu kok belum jadi rebonding sih?” tanya Dila teman sebangkuku.
“Aku nggak begitu yakin,”
“Kamu gimana sih? Kamu tuh mustinya bersyukur, udah dikasih wajah mirip artis gitu kok, malah cuek bebek,”
“Kamu kan tau aku, aku ini anak kos, duit darimana coba?”
“Katanya kamu punya celengan?”
“Iya sih, tapi kan…” aku ragu.
“Katanya kamu ingin lebih dihargai sama temen-temen? Trus disukai cowok-cowok? Nggak diledekin lagi sama gengnya Gea centil itu? Dan ini saatnya kamu ngebuktiin sama mereka kalau kamu emang hebat. Masak tiap hari hanya mereka yang dikerubungin cowok? Aku aja sebel ngeliatnya!” ceroros Dila.
 “Nanti coba aku pikirin lagi,”
Tiga hari sudah aku berpikir. Tiga hari pula aku mencoba menghindari mbak Rika yang tiada henti membujukku untuk berjilbab. Dan akhirnya keputusan itu kudapatkan, aku ingin seperti Avril. Aku sudah benar-benar tidak tahan pada Gea. Karena pada tiga hari ini pula, dia selalu mengejekku. Entah darimana dia bisa tahu kalau Dila bilang aku seperti Avril. 
“Put, kamu tuh harusnya malu! Mana mungkin kamu bisa rebonding, kamu kan cuma anak kos, darimana coba duit buat nglurusin kribo kamu itu!”
Saat mendengarnya, aku geram sekali. Dan hampir tiap hari dia tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata itu. Aku yakin sekali ini saatnya aku balas dendam pada Gea centil itu.
“Aku janji, aku mau minjemin kamu duit buat rebonding kalo kurang. Gimana? Mau kan?” tawar Dila.
“Ya ampun Dil, kamu temen yang paling baik sedunia!” aku memuji dia habis-habisan. 
Pulang dari sekolah aku segera membongkar celengan ayamku. Aku begitu bahagia, karena besok aku akan berubah!! 
@ @ @
“Kamu cantik! Liat! Kamu mirip banget kayak Avril! Oks deh!” puji Dila.
“He’eh!” kata Cita.
Tiada hari tanpa berkaca. Aku terus memandangi Avril kedua ini. Memang benar kata Dila, aku memang kayak Avril.
Namun lama-kelamaan aku kehabisan uang. Padahal kiriman baru akan datang dua minggu lagi dan rambutku sudah mulai berubah keriting. Aku perlu rebonding lagi dan membeli beberapa baju yang mirip dengan Avril seperti kata Dila. 
Tiba-tiba ide cemerlang terbersit di kepalaku. 
@ @ @
“Wow! Kamu tambah cantik ajah!” puji Dila.
“Banget! Rambut kamu makin lurus!” Cita nyahut.
Tiba-tiba gengnya Gea nyelonong masuk. Si Gea mandangin aku terus. Sampai-sampai dia nubruk tembok. Dan seisi kelas serentak menertawainya.
“Apa liat-liat?! Kaget?! Putri makin cantik kan?” seru Dila. Aku berusaha menahannya. Walaupun begitu aku kan tetap malu.
“Nggak nyangka aja! Kemarin rambutnya kan udah ampir jadi kribo lagi, ternyata sekarang jadi lurus gitu!” ujar Gea.
“Ngutang kali! Mana mungkin punya duit!” celetuk Sisca, teman segeng Gea.
“Apa kamu bilang? Ngutang?! Enak aja! Jaga mulut kamu ya!” aku mulai naik darah. Sebel banget dengernya.
“Marah dia!” kata Gea. “Cabut yuk! Panas gue!” katanya lagi.
“Dasar cewek sinting!” umpat Cita.
Kamu belum tahu Ge, aku bakal ngalahin kamu. Liat aja!
@ @ @
Keesokan harinya sekolah gempar dengan kabar bahwa Gea putus dengan pacarnya. Karena si Beni lebih tertarik padaku. Rasain kamu!
Hari-hariku makin menyenangkan. Hampir tiap hari aku dan Beni jalan-jalan. Makan bareng, shopping di mall, dan masih banyak lagi. Namun yang aku tidak suka mbak Rika malah jadi aneh sama aku.
“Put, gandengan kamu tuh siapa sih? Kok tiap hari maen ke sini? Anak mana? Pacarmu ya? Katanya kamu mau berubah? Kok malah gitu sih?” tanya mbak Rika.
“Mbak, kalau nanya satu-satu donk! Putri kan nggak bisa jawab. Kayak aku diinterogasi aja!” jawabku.
“Bukan gitu, mbak cuma aneh aja ngeliatnya. Nggak baik lho cowok sama cewek jalan berduaan, yang ketiga syetan! Apalagi sekarang kamu jadi berubah gini!” kata mbak sambil nunjuk rambutku.
“Iya Mbak! Aku tahu kok!”
“Terus?”
“Aku tuh lagi balas dendam sama temen aku Mbak! Di sekolah dia suka ngejek aku! Malu Mbak! Apalagi rambut kribo aku yang dulu! Bikin tambah malu aja! Sebel jadinya!”
“Tapi kan, balas dendam itu juga nggak baik lho!”
“Yah, aku juga tahu kok Mbak! Ini juga demi kebaikan temen-temen semua kok! Dah ya Mbak, aku ada urusan! Assalamualaikum!”. Aku segera menyambar tas dan keluar dari kamar. Dasar mbak Rika, suka nasehatin aja, bikin panas telinga!
Paginya aku lihat Gea geram melihat aku jalan di koridor bareng Beni. Cemburu kali!
“Hai Gea! Pa kabar?” sapaku.
“Apa loe! Dasar kecentilan!”
Aku diam saja. Sama sekali tak kupedulikan Gea yang sok itu. Dasar!
“Put! Kamu dipanggil TU!” panggilan Dila mengagetkanku. TU? Ya ampun? Aku lupa? Sudah berapa bulan aku tak bayar SPP? Uangnya aku gunakan untuk rebonding rambutku yang hampir kribo lagi kalau tidak kuurus. Gawat!
Dengan langkah tergesa dan jantung berdebar aku berjalan menysuri koridor menuju kantor TU. 
“Ada apa Pak?” tanyaku agak gugup.
“Kamu Putri Sumekar Wangi?” tanya pegawai TU yang ada di hadapanku itu.
Aku hanya mengangguk. Lalu kulihat bapak itu membuka sebuah buku.
“Ini catatan SPP kamu. Di catatan ini, kamu bisa lihat sendiri kan, kamu belum bayar SPP tiga bulan! Yang saya tahu, kamu anak kos kan? Bukannya pada bulan-bulan sebelumnya kamu bisa bayar SPP? Kenapa sekarang tidak?” 
“Iya Pak! Soalnya uangnya saya pakai Pak!”
“Oh ya! Satu lagi, saya dapat kabar dari guru yang mengurusi pencicilan buku, katanya kamu juga sama sekali belum mencicil buku pelajaran ya? Sebentar lagi ujian mid semester. Dan kamu ini sudah kelas tiga lho! Kalau tidak bayar dari awal kamu akan semakin kesulitan,”
“Tapi Pak! Masak tidak ada beasisiwa atau bantuan apa gitu Pak? Saya kan anak kurang mampu Pak!” 
“Kurang mampu katamu? Rambut kamu itu gimana? Mana ada anak kurang mampu bisa rebonding rambut?! Kamu seharusnya besyukur, masih dibiayai orangtuamu. Sekolah di kota lagi! Uang dari orang tuamu kamu gunakan untuk meluruskna rambut kamu itu kan? Dan semenjak rambut kamu lurus kamu jadi kecentilan gitu!”
“Tapi Pak! Saya kan…”
“Sudahlah, sudah terlanjur. Sekolah memutuskan kamu hanya akan dibantu membayar SPP satu bulan saja. Soalnya dulu kamu sudah pernah menggunakan kartu dispensasinya. Jadi di kelas tiga ini kamu sudah tidak dapat menggunakan keringanan itu lagi,”
“Tapi Pak!”
Bel berbunyi keras sekali. Suaranya yang memekakkan membuatku semakin pusing saja. Aduh, bagaimana ini?! Kenapa semua jadi runyam seperti ini?
Aku harus cari bantuan. Tapi kepada siapa lagi aku harus meminjam uang? Cita? Dia sudah pernah aku pinjami untuk mengurus rambutku ini. Dila? Apalagi dia! Terlalu banyak hutangku padanya. Mbak Rika? Aduh, aku malu. Kemarin aku agak sebel sama dia. Aduh bagaimana ini? Aku ingin pingsan saja rasanya.  
@ @ @
Akhirnya pulang juga. Aku sudah sedikit terbebas dari uang SPP yang terus memenuhi kepalaku. Tapi entahlah besok. Aku tidak siap menghadapi hari esok. Pusing! Padahal rambutku kini sudah lurus, seharusnya pikiranku jadi tambah mulus. Eh, malah enak waktu kribo dulu, nggak sepuyeng sekarang. 
“Put! Kamu dah pulang? Putri?! Ini ibu Put!” panggilan bu kos mengagetkanku.
“Iya iya Bu! Bentar!”. Kubuka pintu kamarku. Perasaanku tidak enak.
“Kamu baru aja pulang ya? Maaf nganggu, ibu mau anu, itu lho! Aduh, ibu ndak enak ngomonge, ibu minta itune Put! Dah tiga bulan!”
“Oh, eh, i..iya Bu! Tapi, Putri juga belum punya Bu sekarang! Ya mungkin besok Bu! Coba nanti Putri telepon ibu dulu,”
“Ya sudah kalau gitu. Ibu soale juga butuh! Ibu tunggu ya!” bu kos agak kecewa. 
Aduh! Kepalaku rasanya ingin pecah. Belum pernah aku merasakan pusing bin mumet seperti ini. Dulu waktu rambutku kribo nggak pernah merasa seperti ini. Sekarang? Ah, kenapa juga aku harus menuruti perkataan Dila, Cita, dan siapa lagi itu. Terlanjur! Aku harus telepon ibu! Harus!
Belum sempat aku beranjak. Tiba-tiba telepon di ruang tengah berbunyi. Aku dengar ibu kos mengangkatnya. 
“Putri! Dari ibumu!” kulihat senyum kecil mengembang di bibirnya. Tapi, tidak di bibirku, aku merasakan hal yang lain.
“Halo! Bu? Ada apa?”
“Put, ibu minta nanti sore kamu pulang ya! Bapakmu kumat lagi! Tadi dia hampir pingsan di kamar mandi! Tensinya rendah banget! Oh ya, bawa duit ya, soale…”
Aku tak mampu lagi mendengar kata-kata ibu. Sekarang ini aku benar-benar ingin pingsan. Aku tak kuat lagi menahan tubuhku yang berat. Aku ambruk.
@ @ @

I luv U aLL>
020407

University Expo

Betapa kita akan merasakan nikmat sehat setelah kita sakit. Bener2 deh itu aku rasain. Rasanya emang nggak enak banget waktu sakit. Pas pilek kayak gini aku malah pergi ke University Expo di UKDN..

di sana sepiii...piii banget, yah lumayan lah.. Habis nggak ada yg narik juga. Malah aku dapet brosur dr universitas kristen, gile aje, aku kan pake jilbab gini. Ternyata, nggak jamin banget yah..

Kok bisa2nya masih ditawarin, yah ini buat introspeksi diriku lah, kenapa aku udah pake jibab gini masih ditawarin juga. Emangnya tampangku itu kyk org ga kuat iman ya??? Makanya aku ma kembar tadi juga ga abis pikir (apa jgn2 krn aku perginya ma mereka?)

Mungkin emang aku harus ngubah diriku lebih baik lagi. Perkuat iman dan takwa, jgn suka agu2 pop, nonton film ga penting di tv, mulai nyukain nasyid, bla...bla..

Ya Alloh, sumpah nih, aku pilek gini nggak enak bgt deh, udah minum obat sih tadi, skrg tinggal nunggu. Doakan saja...

Di UKDN aku malah nyoba soal buat masuk UMS, sulit juga sih, aku diterima di beberapa fakultas gt, tapi nggak minat ah, masak kedokteran nggak diterima? Gimana jadinya aku pas daftar di kedokteran UNS?? Ya Alloh, permudah jalanku...AMIEN!!!