Showing posts with label karyaku. Show all posts
Showing posts with label karyaku. Show all posts

Membaca dan Menulis secara 'Fun'

Tidak banyak remaja yang menyadari bahwa membaca adalah aktivitas yang sangat menyenangkan. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa kalau terlalu banyak membaca itu membosankan. Apalagi menulis, ini kegiatan yang sangat menguras otak, karena butuh ketajaman kata-kata dalam melakukannya. Paradigma seperti ini sebaiknya segera disapu bersih dari otak remaja. Karena jika dibiarkan maka tak usah kaget jika mengetahui kecerdasan remaja Indonesia itu masih jauh dibandingkan negara-negara lainnya, lha wong minat bacanya saja rendah sekali.

Kalau begitu, bagaimana cara menumbuhkan minat baca remaja Indonesia? Apakah mereka harus disajikan berbagai macam buku? Atau jangan-jangan minat bacanya rendah karena harga buku masih belum tergapai oleh kantong-kantong mereka? Bisa jadi demikian.

Kalau ditelisik lebih lanjut memang terdapat bermacam-macam sebab dan alasan yang membuat remaja kurang menggandrungi kegiatan membaca dan menulis. Selain karena aktivitas itu membuat mereka bosan juga karena belum adanya sarana dan prasarananya, yang tidak lain adalah buku. Karena, mereka tidak sejak dini disodori buku bacaan, sehingga mereka kurang begitu akrab dengan benda yang satu itu.

Nah, bapak Hernowo mencoba melakukan sebuah usaha. Beliau yang juga seorang guru bahasa dan Sastra Indonesia SMA pastilah sangat paham dengan apa yang dialami murid-muridnya. Ya, beliau menulis sebuah buku pembangkit semangat, atau bisa disebut buku motivasi, yang isinya mendorong remaja Indonesia untuk gemar membaca dan menulis. Beliau bahkan secara terang-terangan menyebutkan jika pembaca mau membaca bukunya itu mereka akan mampu membaca dan menulis secara 'fun'. Kalimat itu beliau sampaikan di sampul depan bukunya.

Buku yang diterbitkan oleh penerbit MLC itu beliau beri judul 'Mengikat Makna'. Bagi saya judul itu menjual, membuat penasaran siapa yang membacanya. Karena jika ingin tahu lebih jauh kita harus membeli bukunya dan melahap habis isinya. Apalagi buku itu dikhususkan bagi remaja. Walau tidak menutup kemungkinan pembacanya juga bisa orang dewasa. Namun, bahasa penulisan di buku tersebut lebih dibuat meremaja, atau lebih gaul. Sehingga pembaca -yang kebanyakan remaja- tidak akan merasa digurui, dan tentunya mereka tidak akan cepat bosan dengan bahasa yang ringan dan tidak berbelit-belit.

Selain agar membuat pembacanya termotivasi membaca dan menulis secara 'fun', bapak Hernowo juga menyajikan manfaat lain dari bukunya, yaitu mampu mengenali diri sedikit demi sedikit, mampu mencuatkan potensi unik kita, dan mampu mengubah hidup kita. Itu semua lagi-lagi beliau pampangkan di sampul depan.

Pertama kali membuka buku Mengikat Makna kita akan disambut dengan sebuah bagan (bapak Hernowo menyebutnya 'peta').

Aku biasa menunjukkan lebih dahulu semacam "the big picture" gagasanku. Aku yakin sekali jika para pembaca bukuku dapat memahami lebih awal tentang "gambaran besar" gagasanku, tentu kemungkinan besar mereka akan dimudahkan memasuki inti pikiranku. Gambar di halaman ini juga dapat dikatakan semacam "peta"...

Itu adalah kutipan keterangan yang ditulis bapak Hernowo mengenai "peta" yang beliau buat. Dan memang berguna sekali. Dengan membaca "peta" tersebut kita akan mampu memasuki pikiran beliau. Kita akan segera mengetahui ke arah mana kita digiring ketika membaca buku itu. Bagian yang mengesankan adalah pada kalimat :

Aku berharap "peta" ini dapat membantu siapa saja untuk bersegera menjelajah dan meraih "harta karun" ilmu yang ada di bukuku....

Saya sungguh tertarik dengan pernyataan penulis mengenai "harta karun" ilmu. Saya seperti merasa mendapatkan sesuatu yang baru, luar biasa, dan sulit untuk diungkapkan. Betapa buku itu memiliki sisi yang fantastis (kalau boleh saya sebut begitu), karena apa? Karena buku tidak sekadar gudang ilmu, namun buku adalah "harta karun" ilmu. Luar biasa bukan?

Lewat bukunya, pak Hernowo (terasa lebih akrab disapa demikian) mengajak kita untuk memperkaya diri dengan membaca, kemudian menjaga dan menyebarkan kekayaan ilmu yang kita dapat dari buku dengan menulis. Maksudnya adalah menuliskan segala yang kita baca, apapun, entah itu manfaat atau hal lainnya yang kita dapatkan setelah kita membaca buku. Atau istilah kerennya adalah Resensi.

Oleh karena itu, di bukunya pak Hernowo menyelipkan beberapa hasil karya peserta lomba menulis resensi buku terbitan Kaifa for Teens. Dan hampir semua yang meresensi itu masih berstatus siswa SMA. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi pembaca bukunya agar mau menengok hasil karya mereka untuk kemudian mulai mempraktikannya sendiri.

Selain itu, pak Hernowo juga meminta pembaca untuk merumuskan "AMBak" (Apa Manfaatnya Bagiku?) sebelum kita menekuni kegiatan membaca dan menulis itu. Dengan begitu, kita jadi termotivasi untuk terus membaca dan menulis. Karena kita sudah merumuskan secara spesifik apa manfaat atau tujuan dari kegiatan yang kita lakoni itu.

Pak Hernowo juga meminta kita untuk memilih buku-buku yang sekiranya dapat menggerakkan pikiran kita. Jadi, tidak sembarang buku kita baca. Karena kualitas buku itulah yang menentukan sejauh mana pengetahuan kita bertambah setalah membacanya. Buku yang 'lezat' adalah buku yang ditulis oleh penulis yang hebat.

Di sub bab tersebut pak Hernowo juga mencoba membandingkan kegiatan membaca buku dengan menonton televisi atau film. Dengan membaca buku kita akan lebih aktif dibandingkan dengan ketika menonton televisi. Maksudnya adalah ketika kita membaca buku tentunya kita dipaksa lebih fokus, perhatian kita penuh kepada buku yang kita baca. Kita harus mencerna dan menafsirkan maksud dari setiap kalimat. Itulah yang disebut aktif menurut pak Hernowo.
Selain itu, kerutinan membaca buku dapat menumbuhkan dendrit dan dapat mengaktifkan koneksi antar sel-sel saraf di otak kita. Luar biasa bukan?

Tahap penting selanjutnya adalah berusaha sekuat tenaga untuk menuliskan pikiran kita secara bebas dan lepas. Menuliskan segala hal di benak kita, apa yang menyesaki dada kita, dan berkecamuk di otak kita. Nah, puncak dari itu semua, pak Hernowo menyebutnya dengan 'PLONG'.

Setelah kita melakukan itu semua, kita harus membiasakan diri kita untuk membaca dan menuliskan diri kita setiap hari. Sehingga menurut pak Hernowo otot-otot menulis kita akan lebih fleksibel jika kita membiasakannya. Selain itu, ujar beliau lagi, kita akan sampai pada hal penting lain, yaitu Mengenali Diri.

Dengan sangat lihai pak Hernowo menggunakan istilah-istilah unik untuk menyampaikan gagasannya. Sehingga di telinga seorang pembaca (dalam hal ini saya) akan terdengar asyik dan menarik. Kita benar-benar diajak hanyut dalam samudra 'Pengikatan Makna'. Beliau tak henti-hentinya mengajak kita untuk terus membaca dan menulis. Karena hanya dengan begitu kita akan bisa mengetahui siapa diri kita sebenarnya.

Sungguh mengagumkan. Buku ini sangat layak dibaca para remaja yang terlalu sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, hal-hal yang tidak bisa menggerakkan pikiran mereka. Karena setelah kita menuntaskan seluruh halaman yang ada, kita seperti memiliki energi luar biasa, yang hanya kita sendiri yang tahu rasanya. Energi yang terus menerus memaksa kita untuk menjadi kita yang sebenarnya.

Pokoknya, two thumbs up!!

Semoga bermanfaat.

Hitam (2)

Hitam itu makin pekat
Keruh itu makin nyata
Kini aku benar-benar berada di dasar jurang,
terhempas, terbuang...

Aku (kini) tak merana lagi
Aku (kini) tak meradang lagi,
karena aku telah mati rasa

Aku tak bercahaya, aku gulita
Aku pun tak bisa menangis, air mataku habis
Bahkan, jantungku serasa tak berdetak...

ENYAHLAH DIRIKU!!!
Crash!!
Aku Remuk...

-sv-
08042010

Kelabu, dan Siluet Pelangi

Aku melihat kelabu itu,
kelabu di mata beningmu
di antara derasnya hujan...

Namun,
perlahan kelabu itu memudar
Kemudian, sebuah siluet indah pelangi menggantikannya
Secuil senyum menghiasi bibir mungilmu

Lucu,
itu kata yang pantas untuk menggambarkannya
Akupun tersenyum
berharap kelabu itu tak singgah lagi..

-sv-
*weird, isn't it?*

Hitam

aku hitam,
di antara putihnya buih

aku keruh,
di antara beningnya samudra

aku puing,
yang luluh lantak
berserakan

aku terasing, terbuang, terkucil...

aku merana
aku meradang

namun aku bisu
namun aku tuli
namun buta

karena aku hitam, aku tak sepertimu...


-sv-

'berada di titik terendah puncak tertinggi'

Untukmu (Ibu)

Suara tangisku pecah

Membuat semuanya terkesiap

Namun kulihat kau tersenyum

Di antara tetesan air mata


Saat kurasa begitu sulit

Untukku mencoba bangkit

Kau datang membimbingku

Dengan senyum penuh kasihmu


Saat kurasa ku bisa

Menghadapi semua yang ada

Kau tetap di sisiku

Menjadi pelita hatiku


Saat ku benar-benar sanggup

Berdiri di atas kedua kakiku

dan berkata...

Aku bisa tanpamu

Kau hanya diam

dan membiarkanku pergi

Namun, bibirmu tak pernah berhenti mengucap do'a untukku


Dan kini, ku tak sanggup mengelak lagi

Aku membutuhkanmu

Aku rindu belaian tanganmu

Aku rindu senyum penuh kasihmu

Aku rindu tetes air matamu untukku


Namun, semuanya sia-sia..

Ku tak dapat dan tak mungkin mengulanginya

Ku hanya memohon,

semoga kau bahagia di jannah-Nya

Dan semoga kau menjadi satu dari seribu bidadari-bidadari surga yang jelitanya tiada tara...



030210

19 Shaffar 1431 H


*sebuah sayir (lagu) utk memenuhi tugas seni musik,

terinspirasi dari lagu "Ibu", oleh Iwan Fals*

SALAH, sebuah puisi (yg ancurr!)

Sabtu, 25 April 2009
pas pelajaran bhs jawa, jam 10 Kurang...hhe..
sebuah puisi yg anehh bgt!!
SALAH
Senyumanmu membuat jantungku berdegup kencang
aku bisa membaca auramu di sini
kau hadir dalam setiap helaan nafasku
tapi, kau tak memperdulikanku...
kau tak bergeming sedikitpun saat melihatku...
karna... kau tak punya rasa itu.
kau sama sekali tak memilikinya.
Aku tahu, ini bertepuk sebelah tangan
dan aku hanya bisa diam,
merenungi semuanya.
Bahwa memang kau bukan untukku,
saat ini...
Bukan saat ini memang,
tapi aku berharap suatu saat kau pun bisa merasakannya,
rasa yang sama seperti yang kurasakan...
Dan tentunya dengan cara yang HAQ!!!
karna kusadar, yang kurasakan padamu saat ini SALAH!!!
Biarkan waktu yang akan menghapusnya...
dan biarkan semuanya berlalu...
karna aku tak butuh itu...

*keep smile! ^_^V

Mirip Avril

“Tunggu bentar, wajah kamu kayak Avril deh!” seru Dila mengagetkanku.
“Ah, masak sih! Avril Lavigne, penyanyi luar itu kan?”
Dila mengangguk. “Coba aja kamu tanyain ke temen-temen!” usulnya.
“Cit, emang tampangku kayak Avril ya?” tanyaku pada Cita.
“Mm.. kalau dilihat dengan seksama, emang mirip, sih!”
“Tuh kan?” kata Dila.
“Tapi, kok kamu baru bilang sekarang?” kataku tidak yakin.
“Nggak tahu kenapa aku tiba-tiba bilang gitu. Waktu aku lagi ngobrol langsung ma kamu tadi, aku ngerasa gitu. Tapi sayang, rambut kamu pendek, dan lagi keriting!” 
“Iya, gimana kalau direbonding?!” tiba-tiba Vina menyahut.
“Ah, masa bodo sama Avril. Lagian duit darimana, orang bayar kos aja masih nyicil,”
“Ye, nabung atuh!” 
“Tau deh!” 
Semenjak teman-teman bilang aku mirip dengan Avril, tiap hari aku jadi kepikiran terus. Di kamar kos, aku jadi sering becermin, mencoba meluruskan rambut dengan sisir. Sulit, rambutku kan memang udah keriting dari sononya. Keturunan sih! Aku mulai memandangi celengan ayamku yang mulai berdebu, saking jarangnya kuisi. Tiga bulan ini aku lagi bokek, tahun ajaran baru membuatku ngirit bin hemat. SMAku tak pernah berhenti menyuruh murid-muridnya membayar, dari buku, SPP yang katanya dinaikin, sampai tetek bengek lainnya. Itulah resikonya sekolah di kota. Mahal.
“Putri, gimana keputusan kamu? Udah bulat?” tanya mbak Rika.
“Aku nggak tau Mbak! Tadi pagi temen-temenku malah bilang aku mirip Avril. Dan kayaknya aku juga belum terlalu siap memakai jilbab kayak Mbak!” jawabku lesu. 
Mbak Rika, dia adalah anak kuliahan yang satu kos denganku. Aku akrab sekali dengannya. Setiap ada masalah aku selalu curhat padanya. Dan dia berusaha memberi solusi padaku. Aku merasa nyaman bersahabat dengannya. 
Suatu hari mbak Rika mencoba mengajakku berjilbab layaknya seorang muslimah, akupun mulai memikirkannya. Aku berjanji pada diri sendiri untuk menggunakan uang di celenganku itu untuk membeli baju lengan panjang dan beberapa jilbab, walaupun akhir-akhir ini aku tak pernah mengisinya, sehingga aku sedikit melupakan niatku itu. Tapi entah kenapa perkataan teman-teman tadi semakin mengendorkan niatku.
“Put, gimana? Kamu kok belum jadi rebonding sih?” tanya Dila teman sebangkuku.
“Aku nggak begitu yakin,”
“Kamu gimana sih? Kamu tuh mustinya bersyukur, udah dikasih wajah mirip artis gitu kok, malah cuek bebek,”
“Kamu kan tau aku, aku ini anak kos, duit darimana coba?”
“Katanya kamu punya celengan?”
“Iya sih, tapi kan…” aku ragu.
“Katanya kamu ingin lebih dihargai sama temen-temen? Trus disukai cowok-cowok? Nggak diledekin lagi sama gengnya Gea centil itu? Dan ini saatnya kamu ngebuktiin sama mereka kalau kamu emang hebat. Masak tiap hari hanya mereka yang dikerubungin cowok? Aku aja sebel ngeliatnya!” ceroros Dila.
 “Nanti coba aku pikirin lagi,”
Tiga hari sudah aku berpikir. Tiga hari pula aku mencoba menghindari mbak Rika yang tiada henti membujukku untuk berjilbab. Dan akhirnya keputusan itu kudapatkan, aku ingin seperti Avril. Aku sudah benar-benar tidak tahan pada Gea. Karena pada tiga hari ini pula, dia selalu mengejekku. Entah darimana dia bisa tahu kalau Dila bilang aku seperti Avril. 
“Put, kamu tuh harusnya malu! Mana mungkin kamu bisa rebonding, kamu kan cuma anak kos, darimana coba duit buat nglurusin kribo kamu itu!”
Saat mendengarnya, aku geram sekali. Dan hampir tiap hari dia tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata itu. Aku yakin sekali ini saatnya aku balas dendam pada Gea centil itu.
“Aku janji, aku mau minjemin kamu duit buat rebonding kalo kurang. Gimana? Mau kan?” tawar Dila.
“Ya ampun Dil, kamu temen yang paling baik sedunia!” aku memuji dia habis-habisan. 
Pulang dari sekolah aku segera membongkar celengan ayamku. Aku begitu bahagia, karena besok aku akan berubah!! 
@ @ @
“Kamu cantik! Liat! Kamu mirip banget kayak Avril! Oks deh!” puji Dila.
“He’eh!” kata Cita.
Tiada hari tanpa berkaca. Aku terus memandangi Avril kedua ini. Memang benar kata Dila, aku memang kayak Avril.
Namun lama-kelamaan aku kehabisan uang. Padahal kiriman baru akan datang dua minggu lagi dan rambutku sudah mulai berubah keriting. Aku perlu rebonding lagi dan membeli beberapa baju yang mirip dengan Avril seperti kata Dila. 
Tiba-tiba ide cemerlang terbersit di kepalaku. 
@ @ @
“Wow! Kamu tambah cantik ajah!” puji Dila.
“Banget! Rambut kamu makin lurus!” Cita nyahut.
Tiba-tiba gengnya Gea nyelonong masuk. Si Gea mandangin aku terus. Sampai-sampai dia nubruk tembok. Dan seisi kelas serentak menertawainya.
“Apa liat-liat?! Kaget?! Putri makin cantik kan?” seru Dila. Aku berusaha menahannya. Walaupun begitu aku kan tetap malu.
“Nggak nyangka aja! Kemarin rambutnya kan udah ampir jadi kribo lagi, ternyata sekarang jadi lurus gitu!” ujar Gea.
“Ngutang kali! Mana mungkin punya duit!” celetuk Sisca, teman segeng Gea.
“Apa kamu bilang? Ngutang?! Enak aja! Jaga mulut kamu ya!” aku mulai naik darah. Sebel banget dengernya.
“Marah dia!” kata Gea. “Cabut yuk! Panas gue!” katanya lagi.
“Dasar cewek sinting!” umpat Cita.
Kamu belum tahu Ge, aku bakal ngalahin kamu. Liat aja!
@ @ @
Keesokan harinya sekolah gempar dengan kabar bahwa Gea putus dengan pacarnya. Karena si Beni lebih tertarik padaku. Rasain kamu!
Hari-hariku makin menyenangkan. Hampir tiap hari aku dan Beni jalan-jalan. Makan bareng, shopping di mall, dan masih banyak lagi. Namun yang aku tidak suka mbak Rika malah jadi aneh sama aku.
“Put, gandengan kamu tuh siapa sih? Kok tiap hari maen ke sini? Anak mana? Pacarmu ya? Katanya kamu mau berubah? Kok malah gitu sih?” tanya mbak Rika.
“Mbak, kalau nanya satu-satu donk! Putri kan nggak bisa jawab. Kayak aku diinterogasi aja!” jawabku.
“Bukan gitu, mbak cuma aneh aja ngeliatnya. Nggak baik lho cowok sama cewek jalan berduaan, yang ketiga syetan! Apalagi sekarang kamu jadi berubah gini!” kata mbak sambil nunjuk rambutku.
“Iya Mbak! Aku tahu kok!”
“Terus?”
“Aku tuh lagi balas dendam sama temen aku Mbak! Di sekolah dia suka ngejek aku! Malu Mbak! Apalagi rambut kribo aku yang dulu! Bikin tambah malu aja! Sebel jadinya!”
“Tapi kan, balas dendam itu juga nggak baik lho!”
“Yah, aku juga tahu kok Mbak! Ini juga demi kebaikan temen-temen semua kok! Dah ya Mbak, aku ada urusan! Assalamualaikum!”. Aku segera menyambar tas dan keluar dari kamar. Dasar mbak Rika, suka nasehatin aja, bikin panas telinga!
Paginya aku lihat Gea geram melihat aku jalan di koridor bareng Beni. Cemburu kali!
“Hai Gea! Pa kabar?” sapaku.
“Apa loe! Dasar kecentilan!”
Aku diam saja. Sama sekali tak kupedulikan Gea yang sok itu. Dasar!
“Put! Kamu dipanggil TU!” panggilan Dila mengagetkanku. TU? Ya ampun? Aku lupa? Sudah berapa bulan aku tak bayar SPP? Uangnya aku gunakan untuk rebonding rambutku yang hampir kribo lagi kalau tidak kuurus. Gawat!
Dengan langkah tergesa dan jantung berdebar aku berjalan menysuri koridor menuju kantor TU. 
“Ada apa Pak?” tanyaku agak gugup.
“Kamu Putri Sumekar Wangi?” tanya pegawai TU yang ada di hadapanku itu.
Aku hanya mengangguk. Lalu kulihat bapak itu membuka sebuah buku.
“Ini catatan SPP kamu. Di catatan ini, kamu bisa lihat sendiri kan, kamu belum bayar SPP tiga bulan! Yang saya tahu, kamu anak kos kan? Bukannya pada bulan-bulan sebelumnya kamu bisa bayar SPP? Kenapa sekarang tidak?” 
“Iya Pak! Soalnya uangnya saya pakai Pak!”
“Oh ya! Satu lagi, saya dapat kabar dari guru yang mengurusi pencicilan buku, katanya kamu juga sama sekali belum mencicil buku pelajaran ya? Sebentar lagi ujian mid semester. Dan kamu ini sudah kelas tiga lho! Kalau tidak bayar dari awal kamu akan semakin kesulitan,”
“Tapi Pak! Masak tidak ada beasisiwa atau bantuan apa gitu Pak? Saya kan anak kurang mampu Pak!” 
“Kurang mampu katamu? Rambut kamu itu gimana? Mana ada anak kurang mampu bisa rebonding rambut?! Kamu seharusnya besyukur, masih dibiayai orangtuamu. Sekolah di kota lagi! Uang dari orang tuamu kamu gunakan untuk meluruskna rambut kamu itu kan? Dan semenjak rambut kamu lurus kamu jadi kecentilan gitu!”
“Tapi Pak! Saya kan…”
“Sudahlah, sudah terlanjur. Sekolah memutuskan kamu hanya akan dibantu membayar SPP satu bulan saja. Soalnya dulu kamu sudah pernah menggunakan kartu dispensasinya. Jadi di kelas tiga ini kamu sudah tidak dapat menggunakan keringanan itu lagi,”
“Tapi Pak!”
Bel berbunyi keras sekali. Suaranya yang memekakkan membuatku semakin pusing saja. Aduh, bagaimana ini?! Kenapa semua jadi runyam seperti ini?
Aku harus cari bantuan. Tapi kepada siapa lagi aku harus meminjam uang? Cita? Dia sudah pernah aku pinjami untuk mengurus rambutku ini. Dila? Apalagi dia! Terlalu banyak hutangku padanya. Mbak Rika? Aduh, aku malu. Kemarin aku agak sebel sama dia. Aduh bagaimana ini? Aku ingin pingsan saja rasanya.  
@ @ @
Akhirnya pulang juga. Aku sudah sedikit terbebas dari uang SPP yang terus memenuhi kepalaku. Tapi entahlah besok. Aku tidak siap menghadapi hari esok. Pusing! Padahal rambutku kini sudah lurus, seharusnya pikiranku jadi tambah mulus. Eh, malah enak waktu kribo dulu, nggak sepuyeng sekarang. 
“Put! Kamu dah pulang? Putri?! Ini ibu Put!” panggilan bu kos mengagetkanku.
“Iya iya Bu! Bentar!”. Kubuka pintu kamarku. Perasaanku tidak enak.
“Kamu baru aja pulang ya? Maaf nganggu, ibu mau anu, itu lho! Aduh, ibu ndak enak ngomonge, ibu minta itune Put! Dah tiga bulan!”
“Oh, eh, i..iya Bu! Tapi, Putri juga belum punya Bu sekarang! Ya mungkin besok Bu! Coba nanti Putri telepon ibu dulu,”
“Ya sudah kalau gitu. Ibu soale juga butuh! Ibu tunggu ya!” bu kos agak kecewa. 
Aduh! Kepalaku rasanya ingin pecah. Belum pernah aku merasakan pusing bin mumet seperti ini. Dulu waktu rambutku kribo nggak pernah merasa seperti ini. Sekarang? Ah, kenapa juga aku harus menuruti perkataan Dila, Cita, dan siapa lagi itu. Terlanjur! Aku harus telepon ibu! Harus!
Belum sempat aku beranjak. Tiba-tiba telepon di ruang tengah berbunyi. Aku dengar ibu kos mengangkatnya. 
“Putri! Dari ibumu!” kulihat senyum kecil mengembang di bibirnya. Tapi, tidak di bibirku, aku merasakan hal yang lain.
“Halo! Bu? Ada apa?”
“Put, ibu minta nanti sore kamu pulang ya! Bapakmu kumat lagi! Tadi dia hampir pingsan di kamar mandi! Tensinya rendah banget! Oh ya, bawa duit ya, soale…”
Aku tak mampu lagi mendengar kata-kata ibu. Sekarang ini aku benar-benar ingin pingsan. Aku tak kuat lagi menahan tubuhku yang berat. Aku ambruk.
@ @ @

I luv U aLL>
020407

read it ya!!!

assaLamu'aLaikum....

Kali ini aku post salah satu cerpenQ...

silakan dibaca yak...!

And I'll wait your comment 4 me...

see ya!!


Melati yang Layu

Ma, emangnya nggak ada keputusan lain apa?”

Nggak bisa sayang. Ini udah keputusan papamu.”

Tapi Ma…”

Udah sayang, patuhi aja. Ini juga demi kebaikan kamu kok.”

Gadis itu menitikkan air mata. Ia tak bisa membayangkan berpisah dengan sahabat sejatinya. Sahabat yang menemaninya sejak kecil. Mamanya mengelus pundaknya pelan. “Jangan menangis sayang…”

@ @ @

Lika!! Ayo berangkat!” teriak suara seorang gadis dari luar.

Sementara itu seorang gadis dengan rambut tergerai tampak mengeluarkan sepedanya dari dalam garasi rumahnya. “Bentar ya!” sahutnya kemudian.

Hari ini PRnya cuma bahasa inggris kan?” tanya gadis dengan rambut dikuncir menyerupai ekor kuda yang tadi memanggilnya.

Gadis yang satunya mengangguk. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.

Sesampainya di sekolah dua gadis itu langsung meletakkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda yang luasnya tidak seberapa. Sebagian besar siswa di SMA itu mengendarai motor ke sekolah. Namun karena rumah kedua gadis itu jaraknya tidak begitu jauh mereka hanya menggunakan sepeda.

Lalu keduanya berjalan beriringan menuju kelas mereka. XI IPA 4.

Tau nggak Lik, tadi waktu di jalan mau rumahmu aku ketemu Dimas lho! Aku kaget banget, habis nggak biasanya kan dia lewat di jalan itu. Sayangnya kamu nggak ada, coba tadi kamu ada pasti kamu langsung nervous banget!” cerita gadis yang rambutnya dikuncir.

Oh..” sahut gadis yang dipanggil Lika.

Kok kamu cuma bilang oh sih? Nggak biasanya deh!”

Ah, nggak. Perasaan kamu aja kali!”

Jangan pura-pura deh! Kamu tuh kenapa sih?”

Lika menaikkan kedua sudut bibirnya. “Risty, aku nggak kenapa-napa kok.”

Ya udah!” sahut gadis yang dipanggil Risty sambil mengangkat kedua bahunya.

Sesampainya di kelas mereka segera meletakkan tas. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Pelajaran segera dimulai.

@ @ @

Seharian ini kamu agak beda Lik,” kata Risty saat mereka sedang memasukkan buku dan alat-alat tulis ke dalam tas. Bersiap-siap pulang.

Emang iya ya?”

Tuh kan? Dari tadi bilangnya gitu mulu. Aku ajak cerita, nggak nyahut,” jelas Risty. “Cuma bilang iya, enggak terus. Diajak jajan di kantin, males,” katanya lagi.

Lika tersenyum tipis. “Ya maaf. Tapi, aku nggak kenapa-napa kok.”

Terserah lah!” sahut Risty kesal.

Tak lama kemudian mereka keluar dari kelas, lalu mengambil sepeda di tempat parkir seperti biasanya.

Sesampainya di rumah Lika mereka berpisah.

Bye Lika!” kata Risty.

Bye!” balas Lika.

Lika masuk ke rumahnya. Tiba-tiba mamanya muncul.

Lika, udah pulang nak? Oh iya, papa baru aja nelpon, katanya dipercepat tiga hari Lik!”

Apa? Dipercepat? Berarti lima hari lagi dong Ma! Ah, papa kenapa nggak mikirin Lika sih Ma? Lika nggak suka sikap papa yang maksa-maksa gitu!”

Udah deh sayang. Yang penting sekarang kamu nurut aja yang dibilang papa. Mulai siapin barang-barang kamu lho ya! Biar besok kita nggak keburu-buru. Soal sekolah besok mama urus.”

Lika menggerutu. “Huh, papa jahat!”

@ @ @

Siang yang panas. Matahari seakan marah dengan penduduk bumi. Memberikan sinarnya dengan garang. Kedua gadis itu rasa-rasanya ingin cepat sampai rumah.

Huh panas banget ya Lik!” keluh Risty.

Iya nih!” ujar Lika mendukung.

Akhirnya sampai juga di depan rumah Lika.

Aku duluan ya Lik, pengen cepet-cepet minum es! Bye!” kata Risty sambil mengayuh sepedanya lebih cepat.

Stop! Stop! Jangan pulang dulu!”

Risty yang mendengar ucapan Lika spontan langsung berhenti mengayuh.

Ada apa?”

Aku baru inget, aku mau ngasih kamu sesuatu!” ujarnya.

Hah? Apaan?” tanya Risty penasaran.

Lika tak menjawab. Ia kemudian mengambil sebuah tas kresek hitam dari kebun depan rumahnya.

Ini pohon melati,” ujarnya.

Risty hanya diam penuh tanda tanya. Namun, akhirnya ia membuka mulut juga.

Buat apaan sih?”

Mm… buat kamu rawat. Aku sebenarnya juga tahu kalau kamu nggak suka melati. Tapi kan, itu bunga kesukaan aku. Jadi, aku nggak ada maksud lain ngasih kamu bunga itu selain sebagai tanda persahabatan. Boleh kan? Lagian kamu kan cuma perlu merawatnya aja,” jelas Lika panjang lebar. “Aku bawain deh, kalau kamu nggak bisa. Mau ya?” katanya lagi. Ia kemudian memasukkan tas kresek hitam ke dalam keranjang sepedanya

Terserah deh! Buruan nih, aku udah keringetan.”

Iya iya,” sahut Lika mulai menaiki sepedanya.

Sebenernya ngapain sih kamu ngasih aku kayak gituan?”

Lika hanya tersenyum. “Mm... apa ya? Ntar kamu juga tahu kok.”

Yee, bikin penasaran aja.”

Lika tersenyum lagi. “Pokoknya cuma satu yang aku minta, kamu ngerawat bunga yang aku kasih. Pohonnya disiramin terus. Biar nggak layu.”

@ @ @

Paginya, seperti biasa Risty dan Lika berangkat bersama.

Ris, bunganya kemarin gimana? Udah kamu siramin kan?”

Udah kok, udah aku tanem di kebun belakang. Sesuai dengan perintah. Merawatnya!”

Oke-oke. Mm…pokoknya jangan sampai kamu biarin bunganya layu. Oh iya, pulang sekolah nanti kamu mampir ke rumahku dulu ya! Aku mau ngasih kamu sesuatu lagi nih!”

Jangan bilang bunga melati lagi!”

Liat aja nanti!” sahut Lika asal.

@ @ @

Ternyata…

Kamu tunggu di sini dulu aku mau ngambil sesuatu buat kamu,” ujar Lika sesampainya mereka di rumahnya.

Apaan lagi sih?” tanya Risty penasaran.

Beberapa saat kemudian Lika muncul dengan kedua tangan disembunyikan di balik punggung. Lalu…

Nih!” katanya sambil menunjukkan sebuah rangakaian bunga.

Wow! Mawar! Nah, kalo gini aku suka!”

Iya dong, kan aku tahu kamu suka banget bunga mawar. Makanya daripada kamu cemberut waktu aku kasih melati. Kamu aku kasih mawar aja.”

Risty tersenyum senang. “Aku kan nggak ulang tahun hari ini. Memangnya ada apa sih?”

Mm… yang penting bunganya kamu rawat aja.”

Tuh kan? Dari kemaren kamu cuma minta aku ngerawat bunga mulu!”

Ya udah, kamu mau nggak? Kalo nggak mau aku ambil lagi nih mawarnya.”

Eit, enak aja. Udah dikasih mau diambil lagi. Tenang aja, aku rawat kok!”

Ya udah, nih diminum dulu sirupnya.”

Tak lama kemudian…

Mm… Ris, aku bilang sesuatu sama kamu. Jangan marah ya!”

Apaan?”

Tiga hari lagi aku mau pindah ke Kalimantan.”

Ha?! Apa? Pindah ke Kalimantan? Yang bener aja!”

Lika mengangguk pelan. “Maafin aku…” katanya lirih. Ia menunduk. Tak berani menatap wajah Risty. Air matanya menetes.

Risty masih shock. Ia tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba saja ia menyambar tasnya dan berlari keluar.

Risty!” teriak Lika. “Maafin aku…”. Air matanya makin deras. Ia tak kuasa lagi menahannya. “Maafin aku…”

Sementara itu Risty mengayuh sepedanya secepat mungkin. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Ia sendiri bingung, kenapa semuanya terjadi begitu saja. Lika akan pergi meninggalkannya.

Bayang-bayang itu muncul lagi. Kenangan saat-saat mereka bersama. Tertawa. Menangis bersama. Janji setia takkan saling meninggalkan. Janji untuk selalu bersama.

Lika pembohoo…ng!!” teriaknya kencang.

@ @ @

Angin sepoi menghembus dedaunan di taman. Risty duduk di salah satu bangku di bawah pohon asam yang sudah sangat tua. Pohon yang selalu menemani masa kecil mereka.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang gadis dengan rambut tergerai berjalan ke arahnya. Risty merasa sesuatu yang tak enak menyergap dirinya. Ia beranjak. Namun, gadis yang baru saja datang itu segera berlari dan mencengkeram lengan Risty. Erat.

Lepaskan Lik,” kata Risty lirih.

Nggak sebelum kita ngomong baik-baik.”

Nggak ada yang perlu diomongin, kamu pembohong!” Risty tak membalikkan tubuhnya.

Aku tahu, aku ini emang pembohong. Aku salah. Aku tahu, aku nggak bisa jaga janji kita. Dan kamu nggak akan mungkin bisa nerima ini. Tapi, please, ngertiin keadaan aku!”

Risty terdiam.

Silakan aja salahin aku. Aku ini emang salah. Aku bukan sahabat terbaik kamu. Kamu nggak pantas punya sahabat kayak aku!” kata Lika lagi.

Aku nggak nyalahin kamu. Aku cuma nyalahin diriku sendiri, yang tak pernah bisa kehilangan kamu.”

Lika melepas genggaman tangannya. Ia tertunduk. Menangis. Sementara itu Risty pergi.

@ @ @

Pagi ini Risty tak berangkat bersama Lika seperti biasanya. Saat melewati rumah Lika ia sama sekali tak menoleh. Lika yang saat itu melihat sahabatnya melintas begitu saja di depan rumahnya tertegun sejenak. Lalu mendesah pelan.

Ma, Lika berangkat dulu ya!”

Risty nggak dateng ya?” kata suara di dalam.

Nggak tuh! Udah ya Ma! Lika berangkat!”

Lika mulai mengayuh sepedanya. Ia masih merasakan sesuatu yang tak enak pada dirinya. Sesuatu yang berbeda.

@ @ @

Ris, kamu masih marah ma aku ya?” tanya Lika.

Risty hanya diam.

Mm… gimana bunga melatinya? Kamu siram kan?”

Risty masih membungkan mulutnya.

Oh iya, kita kan punya handphone, kita masih bisa saling telepon kan?”

Risty tak menyahut.

Risty, kamu masih sahabat aku kan?”

Kali ini Risty membuka mulutnya. “Dulu.”

Perkataan Risty membuat Lika kaget. Ia tak menyangka Risty mengucapkannya.

Ris, maafin aku ya! Aku juga sebenarnya nggak pernah mau pindah. Tapi keadaan yang memaksa aku.”

Cukup! Jangan ngomong lagi.”

Lika membungkan mulutnya. Ia sudah mencoba sabar atas sikap Risty terhadapnya. Namun sepertinya kesabarannya itu ada ujungnya. Ia sedikit emosi pada Risty.

Ya udah! Aku nggak akan ngomong lagi!”

@ @ @

Sejak saat itu, Risty dan Lika tak pernah berkomunikasi lagi. Mereka hanya diam saja saat teman-teman mereka bertanya mengapa sikap mereka akhir-akhir ini berbeda.

Kalian marahan ya?”

Saling ngambek ya?

Dan banyak pertanyaan lain yang hanya mereka jawab dengan bungkam. Sampai akhirnya hari perpisahan mereka datang.

Kali ini Lika memberanikan diri bicara pada Risty.

Lik, hari ini aku akan pergi. Maafin aku ya!”

Risty hanya diam. Namun sebenarnya hatinya sakit. Sangat sakit. Hatinya menangis. Namun ia tak pernah menunjukkannya. Tak ada seorang pun yang tahu.

Ris, kali ini aku mohon. Maafin aku..” Lika menggenggam erat tangan Risty. Tak ada pemberontakan darinya.

Tiba-tiba setetes air jatuh ke tangan Lika. Hati Risty memberontak. Ia ingin mengatakan pada dunia bahwa ia sakit. Bahwa ia takut kehilangan sahabat terbaiknya.

Risty…”

Semakin kencang. Tangis Risty semakin kencang.

Maafin aku Lik…” Ia mendekap erat tubuh Lika. Dan tiba-tiba ia melepaskannya begitu saja. Ia berlari sekencang ia bisa. Tak berani menatap kepergian sahabatnya.

@ @ @

Kini Risty duduk sendirian. Bangku di sampingnya kosong. Yang tersisa hanyalah bayang-bayang semu Lika.

Dan Risty pun berubah. Ia kini lebih banyak diam. Tak seperti sebelumnya. Ceria sepanjang hari.

Pohon melati pemberian Lika tak pernah digubrisnya lagi semenjak Lika berkata bahwa ia akan pergi ke Kalimantan. Menengok pun tidak. Ia biarkan layu begitu saja. Sebenarnya tak sedikit yang memperingatkannya untuk merawat bunga itu. Namun, ia tak pernah mengindahkannya. Melihat pohon melati itu seperti melihat Lika, pikirnya.

Alih-alih pohon melati, rangkaian bunga pemberian Lika telah ia buang sepulangnya dari rumah Lika dulu. Sebelumnya ia injak-injak dulu. Lalu ia lemparkan begitu saja di tempat sampah. Memandang rangkaian bunga itu bagaikan memandang Lika, pikirnya.

Ia mencoba membuang kenangan bersama Lika. Walaupun sebenarnya tak mustahil bila ia menelepon Lika. Namun, baginya hal itu akan membuatnya semakin merasakan rindu yang amat sangat terhadap Lika. Dan itulah pilihan Risty. Yang justru malah membuatnya tersiksa.

@ @ @

Ris, lihat berita di TV deh! Cepetan!” perintah kak Vitri, kakak Risty satu-satunya.

Risty yang mendengarnya buru-buru berlari menuju ruang keluarga. “Ada apaan sih?”

Itu bukannya nama papa dan mamanya Lika! Liat deh di daftar korbannya!”

Iya Kak,” jawab Risty yakin.

Tapi kok nama Lika nggak ada ya? Tunggu bentar, sebagian korban belum teridentifikasi karena kondisinya sangat parah. Hangus terbakar! Dan lagi, sama sekali nggak ditemukan korban yang masih hidup. Jangan-jangan…”

Risty merasa jantungnya berdegup kencang. Sangat kencang. Keringat dingin muncul dari pori-pori kulitnya. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Lika.

Nggak mungkin!” teriaknya kencang. “Lika nggak mungkin mati!!” Kali ini lebih kencang. Air matanya benar-benar mengalir deras.

Udah Ris! Jangan nangis. Mungkin ini udah takdir Tuhan.”

Nggak mungkin!!” teriaknya lagi.

Risty benar-benar tak menyangka akan seperti ini. Ia sangat menyesal tak berpisah dengan baik-baik dengan Lika. Ia menyesal telah membuang rangkaian bunga dari Lika. Ia juga menyesal karena telah membiarkan melatinya layu dan mati. Seperti jiwa Lika yang telah layu untuk selama-lamanya.

@ @ @