Membaca buku “Sudahkah Kita Tarbiyah” membuat kita berpikir ulang tentang kualitas perjalanan tarbiyah kita, atau kalau boleh dipersempempit lagi, kualitas liqo’ pekanan kita.
Sesuai dengan judulnya, Refleksi Seorang Mutarabbi, buku ini memang berisi refleksi mendalam seorang mutarabbi, tentang bagaimana sebenarnya (seharusnya) menjadi bagian dari tarbiyah itu.
Namun, seperti yang tertera di sampul, bahwa buku ini adalah buku refleksi, maka tak salah jika penulisnya adalah seorang yang sudah liqo’ lama, bertahun-tahun (mungkin), kalau belum lama, mana mungkin ia bisa dengan hebat menulis buku ini. Sementara posisi saya di sini adalah seorang pembaca yang masih ‘baru’ menapaki dunia tarbiyah. Kalau boleh diukur dengan tahun, maka baru hampir dua tahun saya menjalani liqo’. Tapi tentumya dua tahun ini akan menjadi lama bagi mereka yang baru bergabung ketika menginjakkan kaki di bangku kuliah. Jadi, kalau boleh saya simpulkan sendiri, usia tarbiyah saya masih terlalu muda jika dibandingkan dengan si penulis buku.
Oleh karenanya, akan sangat dimaklumi (kuharap demikian) ketika ada beberapa (sebenarnya agak banyak) bagian dari buku ini yang masih belum saya pahami dengan sebenar-benarnya pemahaman, sepertinya masih agak susah untuk menangkap maknanya. Karena ternyata ada bagian-bagian dari refleksi si penulis yang saya sendiri pun belum mengalaminya, jadi hanya dalam bayangan dan imajinasi saja dulu.
Namun, bukan berarti tak ada yang saya tangkap dari buku itu, karena, dengan sangat apik, penulis memberi judul bab-bab awal buku ini dengan kata-kata yang saya rasa ‘pas’ dan nancep dengan kondisi para pegiat tarbiyah pada umumnya, jadi sasarannya tak hanya yang sudah ‘tua’ dalam tarbiyah, namun juga bagi yang masih berumur jagung.
Sebagai contoh, bab kedua, tentang “Kegagalan Tarbiyah”, setidaknya, meski bagi yang baru saja bertarbiyah ria pun, dengan membaca ini, mereka (dan tentunya saya) pun akan menangkap sebuah makna penting, bahwa kesalahan persepsi tentang tarbiyah akan memberi andil besar dalam membelokkan substansi tarbiyah sejak awal. Salah satu bentuknya adalah adanya anggapan bahwa tarbiyah hanya sekadar transfer materi saja. Jadi, mutarabbi merasa mendapatkan materi ketika sudah mendengar paparan dari murabbinya.
Kemudian, di bab selanjutnya penulis lebih gamblang dalam menjelaskan konsep tarbiyah dengan menjawab dan menjabarkan pertanyaan tentang “Sudahkah Kita Tarbiyah?”. Sebelumnya penulis menyampaikan visi tarbiyah itu sendiri, dan di sinilah saya menemukan kunci penting lagi, bahwa ternyata tarbiyah itu tak sederhana. Visi tarbiyah menitikberatkan pada pembentukan seorang da’i/da’iyah yang serba bisa, yakni produktif, memilki wawasan, dan mampu mewujudkan cita-cita secepat mungkin. Baru di halaman selanjutnya penulis mulai menjabarkan secara detail jawaban pertanyaan yang ada pada judul buku tersebut. Dan di sini saya juga menemukan kunci penting lagi, salah satunya adalah bahwa menjadi bagian dari tarbiyah itu adalah musti terbuka terhadap perubahan, sehingga saya kemudian menangkap sebuah pemahaman yang didukung dengan bagian-bagian di belakangnya, bahwa jika ternyata kita sudah lama liqo’ pekanan namun masih sama saja atau bahkan lebih buruk dari segi kualitas diri jika dibandingkan dengan pribadi yang tak mengenal tarbiyah, maka hal ini bisa dikatakan bahwa tarbiyahnya tak berhasil. Inilah bagian pentingnya, bahwa tarbiyah itu tak bisa dikatakan hanya karena kita telah menjalani liqo’ pekanan, memiliki murabbi atau mutarabbi, dan mendapatkan materi yang berkelanjutan.
Di bagian lain buku ini juga dijelaskan bagaimana seharusnya memperbaiki kesalahan seorang mutarabbi, dan yang menurut saya ‘keren’ adalah ternyata terdapat metode-metode tertentu dalam menjalankannya. Tak hanya sekadar diberitahu dan selesai dibiarkan dan dikembalikan pada pribadinya begitu saja. Inilah hebatnya tarbiyah, karena di situ terdapat poin, memaklumi kita sebagai manusia yang tentunya tak luput dari kesalahan, maka di sinilah tarbiyah berperan.
Sebenarnya kalau dibahas satu-satu maka akan sangat panjang penjelasan mengenai buku ini. Karena saya rasa penulis bukan merupakan seorang yang ecek-ecek, maka pembahasan tentang tarbiyah-pun (dalam hal ini refleksinya) merupakan penjelasan yang sangat mendalam sekali, dari berbagai sudut ia bahas. Dari tentang menyikapi keragaman antar anggota sampai tips bagi murabbi bagaimana menjadi Qadi yang baik. Inilah salah satu bagian yang saya rasa saya belum sampai ke situ. Namun setidaknya ini memberikan pemahaman awal bagi saya tentang konsep tarbiyah yang sesungguhnya.
Dan lagi-lagi, ada saja bagian yang benar-benar membuat saya berdecak kagum. Dan ternyata bagian ini hanya dapat ditemukan di buku yang sudah direvisi. Penulis menyelipkan tiga judui (kalau boleh dikatakan) puisi, yang isinya nampar banget. Tentang futur dan tentang usia yang tak pernah kita duga.
Begtulah.. saya rasa buku ini seharusnya memang menjadi referensi wajib bagi siapa saja yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari ‘tarbiyah’. Selamat Membaca!
*ditulis atas perintah MRh*
4 comments:
Mbak.. Semua kata2 di atas sangat awam di telinga Saya..
hehe,, iya ya?
nggak papa, belajar sedikit2.,
boleh... seleksi...
tugas liqo? semangat...
aku dulu ikut liqo, tapi sekarang udah ndak he...
Post a Comment
nice person = nice comment